Senin, 05 Maret 2012

Kini Aku Sadar


Ini cerpen pertamaku yang menjadi 10 besar harapan dalam lomba cerpen Kota Malang tahun 2008

Pengap. Sempit. Belum lagi bau bekas kencing yang amat menyengat. Lembab, karena cahaya matahari tak dapat menembus ruangan ini. Entahlah. Aku tidak terlalu memusingkan masalah itu. Rasanya, sekitar 20 tahun, sudah cukup bagiku untuk merasakan ini semua. Aku sudah terbiasa dengan suasana seperti ini.
        Kulihat jam tangan milik penjaga lapas. Jarum panjang berada di antara angka tujuh dan delapan, serta jarum pendek tepat berada di angka enam. Waktu terasa sangat lama bagiku. Detik demi detik berdetak lambat sekali. Sangat berbeda dengan detak jantungku yang saat ini kurasakan. Lama menunggu wktu itu tiba. Ku tak tahu kapan peluru pada senapan akan menembus dadaku.


Kujalani semua ini dengan ikhlas, karena kusadar ini semua adalah dosaku. Beberapa hari ini, aku hanya bisa termenung. Mengingat sejarah besar dalam hidup, yang menghancurkan masa depanku sendiri.
“Mana janjimu?? Katamu kau akan melunasinya segera. Tapi, apa buktinya? Sampai sekarang kau belum juga melunasi hutangmu itu. Kalau kamu tak bisa melunasinya, akan kubawa kau ke pengadilan dan kujebloskan kau ke penjara!“ Itulah kalimat yang sampai sekarang masih terngiang di pikiranku.
       Purwanto, seorang perwira TNI AL yang telah menghancurkan masa depanku. Selain sebagai perwira TNI, namun dia juga menjadi bos di dalam dunia bisnis malamku, yang penuh dosa.
         Ya, aku adalah seorang mucikari. Yang bertugas merekrut para wanita untuk kujadikan kupu-kupu malam. Kantorku berada di daerah Surabaya. Bagi para hidung belang, tentu sangat mengenal lokalisasi di kawasan Gang Dolly. Untuk melancarkan bisnisku, aku meminjam rumah di kawasan tersebut. Ya, rumah Purwanto, kujadikan tempat mangkal para wanita penggoda itu.
        Bisnis kerja yang kugeluti ini tak membuatku takut dengan Tuhan. Bahkan, aku tak tahu siapa itu Tuhan. Hidupku benar-benar hampa. Apalagi, menjadi seorang mucikari, sudah cukup bagiku untuk menghidupi keluarga. Untuk masalah bayaran, jangan ditanya lagi. Dan yang penting, penghasilanku sudah lebih dari cukup.
    Namun, prsaingan di bisnis malam ini semakin ketat. Akupun terdesak untuk mengembangkan bisnisku ini, kalau aku tak mau rugi. Aku meminta pinjaman uang kepada Purwanto, untuk membangun lokalisasi ini, agar lebih besar. Purwanto akhirnya mau meminjamkan 37 juta untukku.
     Tak tahu kenapa, setelah dibangun lebih besar, namun rezekiku bertambah seret. Penghasilanku mulai berkurang. Sesekali waktu, Purwantanto menagih hutangku itu. Namun, aku belum bisa untuk melunasinya.

Beberapa kali, aku berhasil membuat alasan kepada Purwanto. Lama-kelamaan Purwanto sudah sebal karena aku belum juga membayarnya.
     “Aduh, bos. Sekarang bisnis semakin sulit. Omzetku jadi menurun. Lain kali saja, ya, bos. Saya akan mencicilnya!“
     “Lain kali-lain kali saja kamu ini! Sudah berulang kali kamu berjanji seperti itu. Tetapi, tetap saja kamu belum dapat mencicilnya. Lalu, sampai kapan, heh?”
     Berulang kali sudah Purwanto memarahiku. Akupun jadi sebal mendengarnya. Apalagi, saat menagih, dia tidak kenal waktu. Saat aku sedang lelah, ia terus memarahiku. Rasanya emosiku ingin meledak!!
     Tapi, saat ia menagih hutang yang terakhir, ia bahkan mengancam akan memasukkanku ke dalam penjara. Bagi seorang mucikari sepertiku, tentu aku paling takut dengan polisi atau penjara. Aku harus melunasi hutangku. Tapi, bagaimana caranya?

Malam makin kelam. Cahaya rembulan kembali terutup awan. Di malam yang sunyi ini, aku merenung. Memutar otak, agar aku bisa segera melunasi hutangku. Tiba-tiba ide itu terlintas. Setan telah merasuki pikiranku. Membunuh. Ya, membunuhnya. Mengapa tidak terpikir dari dulu saja, ya ? Ah, bodohnya aku! Berbagai cara dan siasat kurundingkan dengan seluruh anggota keluargaku.

Sabtu, 13 Agustus 1988. sejarah kelam dalam hidupku. Ya, hari itu Purwanto dan keluarga telah berhasil aku habisi. Aku gelap mata melihat mayat-mayat yang bergelmpangan dan bersimbah darah. Aku tak merasa kasihan saat melihat keluarga Purwanto menjerit-jerit dan memelas padaku. Aku sudah muak dengan caci maki dari Purwanto selama ini ! Aku ingin bebas ! Tak ada lagi yang mengusik hiduku dengan hutang. Misi pertama telah terjalankan. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan misi ke dua.
Minggu, 14 Agustus 1988. seluruh media cetak ataupun elektronik, menyiarkan penemuan mobil Taft yan masuk ke jurang di daerah Songgoriti. Sekeluarga diketemukan tewas. Semua mengira bahwa kematian itu disebabkan oleh kecelakaan. Saat membaca koran, aku tersenyum puas melihatnya.
Namun, perkiraanku meleset. Aku dan keluarga dijebloskan ke dalam penjara. Aku sendiri tak tahu bagaimana para polisi itu dapat menyelidiki kasus ini hingga aku dan keluarga ditetapkan sebagai tersangka. Apakah para polisi itu menemukan kejanggalan dalam peristiwa itu ? Ataukah ada pihak-pihak yang membocorkan rahasia ini ? Entahlah. Rupanya polisi lebih pintar dariku.
Berkali-kali sudah aku menjalani proses pengadilan. Tentunya aku dan keluarga berharap agar mendapat hukuman yang seadil-adilnya. Meskipun akhirnya, eksekusi mati ditujukan kepada aku dan keluarga.
Desiran angin dan gemericik air mancur, membuyarkan lamunanku. Lamunan pahit yang selalu aku pikirkan. Sekarang aku berada di taman kecil di sudut Lapas, bersama seorang pendeta yang selalu menasihatku, membimbingku, menenangkan hatiku, dan selalu menyemangatiku.
Masa laluku memang kelam. Hidupku sudah penuh dengan dosa. Semangat, do`a, dan dukungan dari berbagai pihak, sudah mulai membuat hatiku jauh lebih tenang. Namun, itu semua belum dapat membuat kecepatan detak jantungku bisa berkurang. Siraman rohani dari sang pendeta telah menyadarkanku bahwa Tuhan itu ada dan selalu menolong serta melindungi hambanya. Mataku mulai terbuka. Sadar akan segala kesalahan yang pernah aku perbuat selama ini. Air mataku mulai menetes. Menyesal. Namun, apa daya. Aku tinggal menghitung jari saja, untuk menunggu waktu itu tiba.
Pukul 01.00. Udara dingin seakan menusuk tulang. Pekatnya malam, membuatku semakin takut menghadapi apa yang akan terjadi di depanku. Regu penembak telah siap di lokasi eksekusi. Kembali ku menatap dalam-dalam mata anakku tersayang yang juga akan ikut serta bersamaku, berjalan menuju lokasi eksekusi.
    Manusia mana yang mau mengakhiri hidupnya di depan regu penembak ? Tak ada yang mau. Namun, ini adalah sebuah kenyataan hidup yang harus aku terima. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang telah aku perbuat. Aku dan anakku akan selalu bersama, menuju penjara yang kekal abadi, Neraka. Mempertanggung jawabkan semua yang telah kulakukan di dunia ini, kepada Tuhan. (dania)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar